SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR DI INDONESIA
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Islam
Yang Diampuh Oleh Bapak KH. TOYYIB MADANI, MA
Disusun Oleh:
AMAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NAZHATUT THULLAB
( IAI NATA) SAMPANG
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi allah yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah sehingga penulis diberi kesehatan dapat menyelesaikan makalah ini yang membahas tentang sejarah perkembangan tafsir di indonesia
Shalawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada nabi muhammad saw.Yang telah membawa manusia dari alam jahiliyah menuju alam ilmiyah
Selanjutnya, penyusun mengucapkan banyak terimakasih kepada bapak. KH. TOYYIB MADANI, MA. sebagai pengampuh yang telah membingbing dan mengarahkan penulis dan pemohonan maaf apabila penulis melakukan sesuatu yang tidak berkenang,
Terakhir, keritik dan saran dari pembaca selalu ditunggu oleh penyusun, karena penyusun menyadari makalah ini, jauh dari kata sempurna dan banyak kekurangan di sana sini, dan atas kritik dan saranya sesudah dan sebelumnya penulis ucapan terimakasih.
Sampang, 31 Oktober 2020
Penyusun
AMAM
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN.
Rumusan masalah
Tujuan masalah
BAB I
Kondisi Riil Penafsiran al-Qur'an Pada Abad XIX
Produktivitas Penulisan Tafsir Pada Abad XIX
Corak dan Metode Tafsir abad XIX
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Implikasi
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah Sejarah perkembangan Tafsir al-Qur'an dalam konteks Indonesia dapat ditelusuri dengan melacak sejarah masuknya Islam di Indonesia. Penerimaan masyarakat terhadap Islam otomatis menerima al-Qur’an, karena Islam tidak dapat dilepaskan dari sumber utamanya yaitu al-Qur’an. Namun karena al-Qur'an datang dengan bahasa Arab, tentu butuh penjelasan lebih lanjut untuk memberi pemahaman terhadap masyarakat yang asin dengan bahasa Arab. Penafsiran al-Qur’an di Indonesia merupakan upaya yang dilakukan untuk menjelaskan kandungan kitab suci al-Qur’an kepada bangsa Indonesia baik dalam bahasa nasional maupun dalam bahasa daerah, seperti bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Bugis dan lain-lain yang disampaikan secara lisan maupun tertulis. Perkembangan penafsiran al-Qur’an di Indonesia jelas berbeda dengan yang terjadi di Arab tempat turunnya al-Qur’an sekaligus tempat kelahiran tafsir al-Qur’an. Perbedaan disebabkan perbedaan latar belakang budaya dan bahasa. Oleh karena itu, proses penafsiran al-Qur’an harus melalui penerjemahan ke dalam ke dalam bahasa Indonesia terlebih dahulu kemudian diberikan penafsiran yang luas dan rinci. Oleh karena itu, proses tafsir di Indonesia lebih lama dibandingkan dengan tempat lahirnya. Tafsir al-Qur’an di Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa periode, yaitu pertama periode klasik, kedua periode pertengahan, ketiga periode pramodern, dan keempat periode modern hingga sekarang. Periode-periode ini berbeda dari periode perkembangan tafsir yang terjadi di timur tengah.1 Pada seminar kelas sebelumnya telah dibahas perkembangan Tafsir al-Qur'an di Indonesia pada periode klasik dan pertengahan. Oleh karena itu, tulisan atau makalah ini akan melanjutkan pembahasan perkembangan Tafsir al-Qur'an di Indonesia periode pramodern yaitu pada abad ke 19 M.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian latar belakang yang telah dikemukakan, maka pokok masalah yang menjadi perhatian untuk diteliti lebih lanjut dalam kajian makalah ini adalah bagaimana perkembangan tafsir al-Qur’an di Indonesia pada periode pramodern/ abad XIX ? Dan untuk sistematisnya pembahasan penelitian ini, maka pokok masalah yang telah ditetapkan, dibatasi pada sub masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Kondisi Riil Penafsiran al-Qur'an Pada Abad XIX?
2. Sejauh mana Produktivitas Penulisan Tafsir Pada Abad XIX?
3. Bagaimana metode dan corak tafsir di Indonesia Pada Abad XIX?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kondisi Riil Penafsiran al-Qur'an Pada Abad XIX
Pada abad ke-18 muncul beberapa ulama-ulama yang menulis dalam berbagai disiplin ilmu termasuk tafsir meskipun yang paling menonjol adalah karya yang terkait mistik atau tasawuf. Di antara ulama tersebut adalah Abd Shamad al-Palimbani, Muhammad Arsyad al-Banjari, Abd Wahhab Bugis, Abd Rahman al-Batawi dan Daud al-Fatani yang bergabung dalam komunitas Jawa.2 Karya-karya mereka tidak berkontribusi langsung kepada bidang tafsir, akan tetapi banyak kutipan ayat alQur’an yang dijadikan dalil untuk mendukung argumentasi atau aliran yang mereka ajarkan, seperti dalam kitab Sayr al-Salikin, yang ditulis oleh al-Palimbani dari ringkasan kitab Ihya ‘Ulum al-Din karya al-Ghazali.3 Namun memasuki abad ke-19, perkembangan tafsir di Indonesia tidak lagi ditemukan seperti pada masa-masa sebelumnya. Hal itu terjadi karena beberepa faktor, diantaranya pengkajian tafsir al-Qur’an selama berabad-abad lamanya hanya sebatas membaca dan memahami kitab yang ada, sehingga merasa cukup dengan kitab-kitab Arab atau melayu yang sudah ada. Di samping itu, adanya tekanan dan penjajahan Belanda yang mencapai puncaknya pada abad tersebut, sehingga mayoritas ulama mengungsi ke pelosok desa dan mendirikan pesantren-pesantren sebagai tempat pembinaan generasi sekaligus tempat konsentrasi perjuangan. Ulama tidak lagi fokus untuk menulis karya akan tetapi lebih cenderung mengajarkan karya-karya yang telah ditulis sebelumnya.4
Produktivitas Penulisan Tafsir Pada Abad XIX
Pada abad ke-19, muncul sebuah karya tafsir yang menggunakan bahasa Melayu-Jawi yaitu kitab Farăidh al-Qur’an. Namun tidak diketahui siapa menulisnya (anonim). Naskah tafsir ini masuk dalam bentuk sederhana, nampak lebih sebagai artikel tafsir ,kerena terdiri dari dua halaman dengan huruf kecil, dan spasi rangkap. Naskah tafsir ini masuk dalam sebuah koleksi beberapa tulisan ulama Aceh yang disunting oleh Ismail bin ‘Abd al-Muthallib al-Asyi. Sekarang naskah ini tersimpan di Perpustakaan Universitas Amseterdam, dan diterbitkan di Bulaq.5 Pada abad yang sama dijumpai literatur tafsir utuh yang ditulis oleh ulama asal Indonesia Syekh Nawawi al-Bantani yang bernama lengkap Muhammad Nawawi ibn ‘Arabi a-Tanara al-Jawi ( 1813-1897 M). tafsir ini ditulis dalam bahasa Arab dan dicetak di timur tengah. Ada juga beberapa tulisan surah-surah dalam bahasa Arab yang dimuat di jurnal al-Manar pada edisi-edisi tahun pertama (1898) dari pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. 6 Sebagaimana yang tergambar diatas, bahwa satu-satunya karya Tafsir yang utuh ditulis pada abad ini adalah Tafsir Marah Labid Karya Nawawi al-Bantani. sehingga bisa dikatakan bahwa perkembangan tafsir di masa ini mengalami hambatan terutama di negeri Indonesia itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh kondisi umat Islam di Indonesia pada saat itu lebih berkonsentrasi dalam menghadapi kolonial atau penjajah dari luar. Tetapi bila ditinjau dari segi Tafsir Nusantara, kitab Marah Labid karya alBantani ini menunjukkan perkembangan penafsiran al-Qur'an yang sangat pesat dibanding kitab sebelumnya. Karya al-Bantani ini bisa dikatakan sangat maju di masanya, meskipun kitab tersebut tidak lahir di Indonesia, akan tetapi karena penulisnya adalah orang Indonesia tentu sedikit banyaknya pasti memberikan pengaruh terhadap corak penafsirannya terhadap al-Qur'an.
Corak dan Metode Tafsir abad XIX
Sebagaimana tergambar di atas, bahwa satu-satunya karya tafsir di abad ini adalah Marah Labid karya Nawawi al-Bantani, maka penulis memfokuskan corak dan metode Tafsir karya Nawawi al-Bantani pada tulisan ini. Berikut gambaran tentang pemikiran Tafsir Nawawi al-Bantani dalam karyanya Marah Labid;
Defenisi Tafsir Pengertian Tafsir menurut Nawawi al-Bantani.
Ungkapan” تفسريا أحســـن و ” dalam surat al-Furqan ayat 3 dijadikan dasar oleh para ulama untuk mengungkap pengertian tafsir. Dalam kitabnya al-Nawawi memberikan penafsiran terhadap ungkapan tersebut dengan:
أحسن بيانا و أقوى جحــة
Jadi tafsir menurut imam Nawawi adalah keterangan mengenai ayatayat Alqur’an dan didasarkan dengan dalil-dalil terkuat. 7 sedangkan pengertian takwil menurut imam Nawawi mengatakan:
وما يعلم تأ ويل المتشــابه حقيقة الا لله
Dari tafsirannya tentang ta’wil beliau memberkan defenisi ta’wil yaitu tidak seorangpun yang mengetahui ta’wil ( ayat-ayat mutasyabih) secara sebenarnya kecuali Allah sebagaimana dijelaskan dalam tafsir surat Ali Imran. 8
Penamaan tafsir Marah Labid.
Dalam sejumlah kamus baik yang ditulis sebelum abad ke-19 atau kamus yang dikarang sesudahnya. Kata Marah diartikan tempat yang biasa dipergunakan oleh sutu kaum untuk menjadi tempat keberangkatan dan kepulangan mereka secara bersama sama dalam suatu perjalanan. Sedangkan kata Labid sebelum abad 19 bisa berarti menempel, melekat, dan tidak dapat dipisahkan. Kata ini juga berarti burung yang kakinya terikat (bertengger ) di bumi, hampir tidak mau terbang, kalau tidak ada yang menghalaunya.9
Kata al-marah dan al-labid merupakan kata benda, marah berarti tempat kepergian dan kepulangan suatu kaum, sedangkan labid berarti kelompok makhluk berakal atau lainnya yang tidak mau meninggalkan asalnya. Dengan demikian ungkapan marah labid dalam judul tafsir bila dihubungkan dengan kondisi dunia Islam pada abad ke 19 maka dapat dipahami bahw tafsir marah labid mencoba memberikan jalan keluar bagi masyarakat Islam yang masih kuat mempertahankan Islam tradisional.
3. Tehnik Penulisan dan Metode Tafsir Marah Labid
Ba hasa
Nawawi menulis tafsirnya dengan menggunakan bahasa Arab. Penggunaan bahasa Arab ini tentu merupakan sebuah keistimewaan tersendiri karena dengan demikian ia bisa diakses oleh masyarakat internasional. Namun di sisi lain, bagi masyarakat Indonesia tafsir ini menjadi elitis, karena tidak semua masyarakat Indonesia menguasai bahasa Arab. Didin Hafiduddin bahkan menilai bahwa konsumen kitab ini bukan sekedar mereka yang memiliki kemampuan berbahasa Arab, tetapi sekaligus memiliki kemampuan memahami kaidah-kaidah bahasa tersebut.
Metode dan Tehnik Penulisan
Metode yang digunakan Nawawi adalah metode tahlili, yakni metode penafsiran yang berusaha menerangkan arti ayat-ayat Al-Qur’an dengan meneliti semua aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, dimulai dari uraian makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, munasabah, dengan bantuan asbab nuzul, riwayat dari Rasul, sahabat, maupun tabi’in. Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan surat per surat. Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan masa Nabi sampai tabi’in, terkadang pula diisi dengan uraian kebahasaan dan materi khusus lainnya. Para mufassir tidak seragam dalam mengoperasionalkan metode ini. Ada yang menguraikannya secara ringkas, ada pula yang menguraikannya secara rinci.
Secara tehnis, penulisan tafsir Nawawi dimulai dengan penulisan ayat demi ayat. Penulisan ayat tidak menggunakan nomor atau pun tanda akhir ayat. Adapun pemisah antar surat ditandai dengan penulisan basmalah, kecuali antar surat al-Anfal dan al-Tawbah--, disertai penjelasan tentang nama surat, kelompok Makkiyah/Madaniyah, dan jumlah ayat, kalimat, serta huruf. Pada surat-surat tertentu yang masih diperselisihkan Makkiyah/Madaniyah-nya, Nawawi selalu menuliskan “Makkiyah atau Madaniyah”, seperti pada surat al-Fatihah. Pada surat-surat tertentu, dimana sebagian ayatnya termasuk kelompok yang berbeda, Nawawi juga memberikan penjelasan, sebagaimana pada surat al-Tawbah dimana dua ayat terakhirnya Makkiyah, sekalipun al-Tawbah termasuk kategori Madaniyah.
Munasabah
Dalam tafsir ini, Syekh Nawawi tidak banyak mengupas munasabah, bisa disebut sebagai salah satu kelemahannya. Sekalipun pada bagian tertentu ia menyinggung munasabah, tetapi sangat jarang sekali sehingga merupakan kesulitan tersendiri menemukan contohnya. Salah satu diantara yang dijelaskan munasabah-nya oleh Nawawi adalah Q.S. 2:6-7. Ayat tersebut (6) menurut Nawawi menjelaskan sifat orang kafir yang tidak mau beriman terhadap apa yang dibawa Rasul berupa AlQur’an, kemudian Allah menjelaskan penyebab mereka tidak beriman pada ayat berikutnya (ayat 7), yaitu karena Allah telah mengunci hati, pendengaran dan penglihatan mereka.
Rujukan Tafsir
Dalam mengambil rujukan, Nawawi al-bantani mengambil rujukan pada kitab-kitab tafsir yang digunakan dan dijadikan kurikulum di Al-Azhar. Ada empat tafsir yang disebut Syekh Nawawi sebagai rujukan tafsirnya:
Al-Futuhat Al-Ilahiyah.
Kitab tafsir ini dikenal juga dengan Tafsir Jamal. Tafsir ini merupakan syarah dari tafsir Jalalain dengan menggabungkan metode manqul ( bi al-riwayah ) dan ma’qul ( bi al-Dirayah ). Menurut penulisnya tafsir ini diharapkan dapat mengangkat jalalain ke tingkat tafsir Al-Zamakhsyari, al-Kawasy, tafsir Qadhi Abd. Jabbar dan tafsir al-Razi.27
Mafãtih Al-Ghaib
Kitab tafsir ini juga dikenal dengan Tafsir al-Rãzi. Nama lengkap penulisnya Abu Abdullah Muhammad Ibn Umar Ibn Husain Ibn Hasan Ibn Ali Al-Tamimi. Tokoh ini dikenal dengan Ibn Khatib, bermazhab Syafi’ii, lahir tahun 433 H dan wafat pada tahun 606 H/1209. Tokoh ini berguru pada Dhiya al-Dhin Umar, Abu Muhammad al-Bughawi, dan termasuk murid dari imam al-Ghazali.
Menurut Al-Dzahaby, dalam tafsir ini terdapat munasabah antara surat/surat atau ayat per ayat. Perhatiannya terhadap sains dan filsafat cukup besar namun masih sesuai dengan ajaran ahlussunnah wal jamaah.29 Menurut Khalil al-Mais,muhaqqiq tafsir al-Razi, sebagaimana dikuip Asnawi, Tafsir al-Razi mengambil sumber dari kitab tafsir kaum mu’tazilah, seperti tafsir Abu Muslim al-Isfahani, Tafsir Qadhi Abdul Jabbar, dan tafsir al-Zamakhsyari , kutipan beliau terhadap terhadap pendapat-pendapat ulama mu’tazilah lebih utuk dikritisi dan memberikan pandangan berbeda terhadap dalil atau hujah mu’tazilah
Tafsir Abi al-Suudi
Judul aslinya Irsyad al-Aql al-Salim Ila Mazaya al-Kitab al-Karim, ditulis oleh Abu al-Suud Muhammad ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mustafa al-Imadi, wafat tahun 982 H, dalam tafsirnya tokoh ini banyak mengungkap sisi balaghah, i’jaz, tidak banyak menuliskan cerita-cerita israiliyyat, dan tidak banyak memuat masalh-masalh fiqh. Menurut Abdul Qadir Ahmad Atha’, Tafsir Abi al-Suud bersumber dari gabungan tafsir al-Kasysyaf, dan Anwar al-Tanzil dengan tambahan dari hasil bacaannya terutama tafsir al-Wahidi.31
Al-Siraj al-Munir
Tafsir ini ditulis oleh Imam Syamsuddin Ibn Muhammad Ibn Muhammad alSyarbini, ia seorang tokoh Mesir bermazhab Syafii, wafat tahun 977 H/1569. Tafsir ini juga banyak merujuk pada tafsir Al-Razi. Dalam mencantumkan qiraat ia hanya menuliskan qiraat –qiraat yang mutawatir, menyebutkan hadits-hadits shaheh atau hasan , namun banyak juga mengutip kisah-kisah israiliyyat.32 Dalam merujuk tafsir-tafsir tersebut Syekh Nawawi al-Bantani sering kali mengutip secara lansung dengan ungkapan ..السعودي, ...., الرازي قال قال , dalam merujuk tafsirnya. Dengan demikian sumber-sumber yang digunakan dapat dilihat jelas dalam kutipan-kutipan tokoh ini.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang terkait dengan perkembangan tafsir di Indonesia di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Kondisi riil masyarakat Indonesia pada abad-19 tidak banyak memicu para Ulama dalam melakukan penafsiran terhadap al-Qur'an. Hal itu disebabkan konsentrasi mereka melakukan perlawanan terhadap kolonial atau penjajah.
Produktifitas Tafsir al-Qur'an di masa itu secara kuantitas bisa dikatakan menurun bila dibandingkan masa sebelumnya. Namun secara kualitas mengalami peningkatan yang signifikan, karena sebelumnya penafsiran pada umumnya hanya penerjemahan al-Qur'an ke bahasa lokal masyarakat, baru pada masa ini penafsiran dilakukan secara tahlili dan sempurna 30 juz.
Corak penafsiran pada masa ini bisa dikatakan bahwa kalau sebelumnya bersifat alamiah namun pada masa ini sudah bersifat ilmiah, karena penafsiran sudah dipengaruhi oleh pola pikir ulama-ulama tafsir Timur Tengah yang masyhur di masa itu.
Implikasi
Penelitian tentang perkembangan tafsir al-Qur’an di Indonesia termasuk periode Pramodern, sebelum dan setelahnya perlu mendapat perhatian khusus, karena erat kaitannya dengan khazanah keilmuan Islam masa lalu. Karya ulama-ulama lokal yang bertebaran di nusantara sangat penting untuk dikaji dan dipublikasikan untuk menambah wawasan tafsir Indonesia sebagai bentuk kearifan lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudlu’i . Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Abdussabur Syahin, Tarikh al-Qur'an, Edisi terjemah: Ahmad Bachmid. Jakarta: PT.Rehal Publika, 2008.
Al-Razi, Tafsir Fakhruddin al-Razi, Tahqiq Khalil al-Mais. Asnawi, Pemahaman Syaikh Nawawi Tentang Qadar dan Jabar pada tafsirnya Marah Labib. Jakarta: Disertasi, IAIN Jakarta, 1989.
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII. Bandung: Mizan, 2004
Didin Hafiduddin, “Tafsir al-Munir karya Imam Nawawi Tanara” dalam Warisan Intelektual Islam Indonesia, ed. Rifa’i Hasan. Bandung: Mizan, 1987.
Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, Jilid III. Mesir: Dar al-Mishriyyah ,tt.
Islah Gusmian , Khazanah Tafsir Indonesia. Jakarta: Teraju, 2002.
Khalil al-Mais, Pengantar Tahqiq, dalam Al-Razi, Tafsir Fakh al-Razi. Bairut: Dar alFikr, 1990
L. Anthony H. Johns, Tafsir al-Qur’an di Dunia Indonesia-Melayu: Sebuah Penelitian awal. (Melayu online.com: 11 Agustus 2008) 14:37 M. Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo: Maktabah Wahbah, 2000